We Make The Road by Walking

Dengan sengaja saya cari lagi buku terbitan temen-teman Transformasi yg waktu itu-keredaksianya- dipimpin oleh romo Wahyu Arifin. sudah beberapa kali bolak-balik gk pernah nemu, sampai akhirnya tadi dgn tdk sengaja terlihat, nampak, diantara tumpukan majalah-majalah usang.

 

Buku ini cukup menarik, karena dihadirkan dalam bentuk dialok -- seperti membayangakan karya karya Plato yg juga kebanyakan berbentuk dialok -- antara Paolo Freire dan Myles Horton.

 

Nama Freire agak lebih populer di telinga intelektual Indonesia, jika dibandingkan dengan Myles Horton. setidaknya itu pengakuan Prof. Tilaar dalam kata pengantar buku ini (krn sy tidak merepresentasikan intelektual dan juga baru tau Myles Horton dr buku ini).

 

Horton and Freire
Keduanya lahir dan tumbuh berkembang menjadi seorang "expert" di situasi yg secara sosial-politik-kuktur sangat jauh berbeda. Pengalaman-pengalaman intelektual dan perjuangan untuk pendidikan yg memerdekaan juga berbeda.

 

Jika Freire hidup dengan alam intelektual bergengsi, Horton justru tumbuh di lingkungan pendidikan yang biasa biasa saja. Freire bekerja pada ruang formal pendidikan (seperti kementerian) sementara Horton justru menghidupi pendidikan alternatif dengan mendirikan Higlander Folk School.

 

Uraian uraian panjang mengenai strategi dan taktik sangat banyak ditemukan di setiap lembaran-lembaran buku ini. Guna menghadapi apa yg disebut oleh Tilaar dalam pengantar buku ini sebagai "governmentally" yg merampas kebebasan manusia.

 

Merapihkan pendidikan kita dengan kegiatan baris berbaris serta upacara bendera tidak sama sekali saya temukan dalam buku ini. Seperti yg sudah ditandatangani program kerja sama antara Mendikbud dan TNI; Bina Siswa.

 

Nilai-nilai luhur nasionalisme, disiplin, bertanggung jawab, jujur d.l.l, seperti yg diharapkan Muhadjir selaku Mentri Pendidikan sebenarnya bisa dikejar dengan mendorong siswa perpikir kritis dan logis, menggantikan model pendidikan yg kaku cenderung formalis, administratip dan karitatif.

 

Selain bermimpi tentang menyiapkan manusia Indonesia yg siap berkerja di "zaman modal" (mengutip Tan Malaka), mestinya pak Muhadjir juga bicara tentang publik baru, pengetahuan baru, dan bagi Horton semua itu bisa dimulai dgn partisipasi di ruang pendidikan.

 

Seperti judul buku ini, Freire berkeyakinan kita dapat meretas jalan masa depan dengan melangkah (berproses).

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.