Sekolah Farming Menengah Atas : Sebuah Pengalaman Sekolah Vokasi di Indonesia.

doc-pribadi
Kira-kira seminggu lalu (13/7), saya dihubungi pak guru Harris Malikus untuk urusan yang tidak saya duga sebelumnya. "bib temenin liat rangka motor CB donk di daerah Manggarai-Jakarta Selatan. Saya jawab "oke, ketemu di alfamaret tempat biasa".
Sesampainya disana, kita jumpa, berbasa-basi dan segera menunju lokasi bengkel. Tanpa saya sadari sejak ketemu di alfamaret dia mengulang-ulang kalimat "nanti rangkanya lo taroh tengah aja, enteng kok".
Sampai sana saya sadar kalo ternyata, saya yang akan nenteng itu rangka CB dari Manggarai ke Cinangka, Depok. Ajegile!!! saya ngeluh ngeluh ke pak guru. Jam 4 sore, waktunya orang pulang kerja ditambah nenteng rangka. Amsyong udah .
Setiba di lokasi bengkel, Setelah telpon telponan, ternyata sang penjual tidak sedang ada di lokasi. Saya merasa rada lega. Sementar pak Guru nampak sebaliknya, rada murung.
Sebagai teman baik yang kenal dengan orang ini, saya ajak beliau berkunjung ke salah satu toko buku bekas di dekat stasiun, kecintaanya kepada bahan bacaan adalah alasan saya memilih tempat berteduh di sana sore itu. Dan di toko buku bekas itu lah secara tdk sengaja juga, saya berjumpa dengan buku tipis, lapuk yang berjudul : "Riwayat Pendirian SFMA Se-Jawa Tengah".
Melihat namanya saya masih terasa asing, "SFMA", sekolah apaan ini ??, begitu membuka lembaran pertamanya tertulis Perjalanan Bpk Sarino Mangunpranoto (eks Mentri Pendidikan era Demokrasi Liberal) atas perintah negara selama 8 bulan untuk mempelajari Pendidikan Keterampilan (Vacational Education).
Sontak saya langsung membelinya dan baru bisa membaca dua hari belakangan. Dan tulisan ini berurusan dengan isi buku yang bercerita tentang salah satu pengalaman pendidikan vokasi di Indonesia.
Hembusan untuk mendorong pendidikan vokasi (lagi) di Indonesia belakangan ramai lagi dibicarakan. Di tengah pembicaraan seperti itu, buku ini saya kira bisa menjadi pelajaran.
Sebelum asal sebut untuk melahirkan program untuk urusan orang banyak. Pihak pemerintah pada tahun 1958 mengirim utusan yang diwakili oleh Sarino Mangunpranoto untuk berangkat ke Amerika Serikat dan negara-negara Skandinavia.
Di AS, negara berharap dapat mengambil contoh dari pendidikan vokasi yang emiliki latar-belakang industri. Sementara di negara-negara Skandinavia, Indonesia berharap belajar banyak tentang urusan yang berhubungan dengan agraria..
Benar saja, Sarino Mangunpranoto terpincut dengan sebuah sekolah di Denmark bernama "Folks Hohe Schule" (di teks buku tertulis seperti itu, mungkin seharusnya Folks High Schule). Sebuah sekolah keterampilan agro-economics.
Sekolah ini kurang lebih ditempuh selama 5 bulan, dengan pendekatan studi kasus, yang mempersoalkan pengalaman selama praktek menjadi petani, serta membongkar problem-problem yang menjadi hambatan selama ini.
Setiba di Indonesia, situasi politik-pendidikan di untungkan dengan gagasan PANCAWARDHANA yang secara langsung juga memberikan peluang untuk pengembangan pendidikan keterampilan seperti yang sudah dibayangkan oleh Sarino Mangunpranoto dalam lawatanya ke luar negeri.
***
Ungaran, 1961, akhirnya didirikan Sekolah Farming Menengah Atas. Dikepala-sekolahi oleh Ibu Sumerapi. Pendirian SFMA ini berlandaskan atas pengembangan ide tentang Pendidikan Masyarakat, usaha menemukan model "Pendidikan Baru" yang relevan dengan kehdupan dan penghidupan.
Membayangkan tentang Masyarakat ajar-mengajar inilah poin sebenarnya dari pendidikan SFMA, dengan sistemnya yang terintegrasi dengan masyarakat dan masyarakat berorientasi kepada sekolah adalah sebuah kultur baru yang segera harus dibentuk.
Mendorong terciptanya Publik Baru (masyarakat baru) dengan meninggalkan basis kultur dan kondisi sosial ekonomi serta sosial politik khas ala Indonesia, sepertinya cuma sekedar menciptakan intelektual tukang yang sekedar bekerja untuk urusan perut.
Ada contoh yang dikemukanan dalam buku ini dari lawatan Sarino. Di Eropa, ada tanah pertanian seluas mata memandang dengan jumlah ratusan hektar dan dimiliki oleh seorang pertani. Namun di Indonesia, ada ikatan kolektif dalam kehidupan petani desa yang merupakan kultur terun menurun dalam mengelola ratusan hektar tanah itu. Ikatan kultural itu digunakan untuk membangun kehidupan sosial ekonomi bersama (gotong royong).
Masyarakat pasti berubah. Tantangan dan hambatan juga ikut berubah seiring perkembangan zaman. Di tahun 1974 diadakan seminar untuk menerima input serta rekomendasi atas pengalaman 12 tahun perjalanan SFMA.
Pengembangan riset inovasi serta mengukur dampak kehadiran sekolah vokasi ini bagi masyarakat sekitar terus digulirkan setelah itu. baik kulitatif maupun kuantitatif.
Sampai tahun 1979 telah berdiri kurang lebih 10 sekolah vokasi yang beredar di Jawa Tengah. ada yang berkembang dan ada yang mati karena sebab-sebab yang belu diselidiki oleh tim Sekolah.
SFMA adalah sekolah keterampilan yang mencari jalannya sendiri sebagai usaha eksperimental dalam urusan ke agrariaan/farming dan pendidikan desa. lulusan SFMA harus kembali lagi sebagai "orang desa" yang cinta akan tanah dan air desa (negeri) nya.
Lalu bagaimana dengan sekarang, bukanya tol sudah mengakses desa-desa? infrastruktur industri sudah berjalan. format apa yang mau dipakai untuk urusan pendidikan kita sekarang ??
***
Sarana kehidupan seperti tanah dan air bukanlah tujuan hidup sebenarnya, melainkan Ridho Tuhan Semesta Alam. --- begitu kalimat penutup dari buku ini. 

Riwayat Pendirian SFMA Se-Jawa Tengah
Yayasan Dewantara Suwakul Urangaran
tanpa-tahun

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panca Wardhana: Usaha melacak konsepsi pendidikan di Era Demokrasi Terpimpin

Rijsttafel : Tradisi Makan Kolonial