Panca Wardhana: Usaha melacak konsepsi pendidikan di Era Demokrasi Terpimpin
Prof. Dr. Prijono (Doc UI) |
Sangat jarang ada tulisan sejarah pendidikan di
Indonesia yang detail atau paling tidak komperhensip membahas pendidikan di
periode Demokrasi Terpimpin. Sering sekali diberbagai tulisan atau buku
menempatkan atau menuliskan sejarah pendidikan periode ini sebanyak satu lembar
atau paling maksimal satu setenga lembar dalam ukuran buku (A4 dibagi dua).
Sementara ada dua pilihan kenapa itu bisa terjadi.
Pertama mengenai sumber. Tidak banyak yang bisa ditemukan dalam Perpustakaan
Nasional, Pusat Kurikulum atau pun Arsip Nasional Indonesia mengenai bahan
bahan terkait pendidikan di periode ini. Kalau ada yang bilang di luar sana ada
bahan mengenai ini, tentu itu bukan barang baru lagi. Hampir setiap periode
dari penggalan sejarah Indonesia tersimpan di luar sana. Bahkan arca-arca
peninggalan candi Jawa Tengah dan Timur pun masih ada di belakang rumah cicit
pembesar kolonial sebagai hiasan taman. Yang kedua, banyak orang dan sering
kali akademisi menilai dominasi politik serta konfrontasi mewarnai dinamika
sejarah pada periode ini, sehingga anggapan tentang tidak ada prioritas kerja
dalam kementerian pendidikan pada saat itu menjadi pembenaran para peneliti
atau pengamat pendidikan.
Tulisan ini adalah usaha untuk mencari
serpihan-serpihan sejarah pendidikan masa Demokrasi Terpimpin yang hilang dari
peredaran catatan sejarah. Menjadi penting mengingat tidak akan utuh sebuah
baju jika saja bagian lengan sebelah kanan atau kiri tidak dirajut. Meskipun
di alam modern ini ada tren style
pakaian yang kemudian disebut “tangan
buntung”.
Lintas
Pendidikan Nasional
Dalam perkembangannya modernisme memandang
pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Bukan sebaliknya, pendidikan yang
menjadi tujuan. Negara modern Indonesia sejak dikabarkan kepada dunia luas
meyakini salah satu alat untuk mencapai kemajuan setelah sebelumnya hancur
lebur oleh kolonialisasi adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan. Jauh-jauh
hari Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya mempersiapkan manusia-manusia
Indonesia agar siap memasuki alam kemerdekaanya kelak. Begitu juga dengan Tan
Malaka dalam buku SI Semarang Onderwijs (1921) nya menginginkan anak-anak punya
bekal nanti di zaman kemodalan[1].
Timpangnya kehidupan sosial serta politik di era
kolonial adalah kenyataan pahit yang harus diterima bangsa ini. Kondisi di atas
justru memicu sebagian orang untuk bersiasat baik di level fikiran hingga
tindakan dengan secepatnya membentuk tim dalam sidang PPKI yang di dalamnya ada
sub-kepanitian Pendidikan dan Pengajaran. Di dalamnya membahas tentang
perencanaan pendidikan nasional. Tercatat keanggotaan tim ini terdiri dari
pembesar-pembesar pendidikan Indonesia seperti Ki Hadjar Dewantara sebagai
ketua, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, Prof Asikin, Prof Husein
Djajadiningrat dan Prof Ir Rooseno sebagai anggota.
Ki Hadjar Dewantara ditunjuk untuk menjadi Menteri
Pengajaran pertama. Tugas penting pertamanya adalah menyusun pedoman pendidikan
dan pengajaran baru yang sesuai dengan dasar Negara. Jiwa pendidikan kolonial
harus diganti secara revolusioner[2]. Di
zaman peralihan itu pendidikan mendapat ruang sebagai tempat memproduksi
pengetahuan dan manusia yang bermental merdeka dan berani mewakafkan dirinya
atas nama kesatuan dan pertahanan bangsa dan Negara.
Pada tahun 1947 Mr. Suwandi diangkat sebagai
menteri pendidikan. Saat itu dilantik 52 orang yang disiapkan untuk membahas
susunan persekolahan yang baru, bahan ajar baru serta rencana pelajaran untuk
tiap jenjang pendidikan. Pada bulan April 1947 diselenggarakan pertemuan musyawarah pendidikan yang akan membahas
tentang persoalan persoalan dasar dalam dunia pendidikan. Dari pertemuan ini
menghasilkan keputusan yang menyatakan bahwa Indonesia harus menciptakan
masyarakat baru atas dasar nilai-niai baru di dalam masyarakat. Mempererat
semangat gotong royong, memperhatikan peran wanita serta membangun masyarakat
kea rah hidup yang berjiwa bebas lagi cerdas berdasarkan Pancasila[3].
Hal ini diperkuat kembali dengan pertemuan kongres
pendidikan di Jogjakarta pada tahun 1949. Beragam tema dibicarakan mulai dari
pendidikan dasar, kesenian, kemiliteran, kepolisian hingga pendidikan untuk
kelompok minoritas Tionghoa. Nah, yang menarik adalah pemaparan makalah dari
Drs. A Sigit yang berjudul Masalah
Pendidikan Pengajaran di Indonesia. Ia menawarkan gagasan tentang keharusan Indonesia untuk menemukan sintesa
antara komunisme dan kapitalisme yang menjamin keadilan sosial, kemerdekaan
berfikir dan meninggalkan sikap feodalnya.
Rangkaian pertemuan serta hasil dari kesepakatan
di atas juga menjadi rujukan atas dokumen politik pendidikan yang dituangkan
kedalam UU No. 4 Tahun 1950 tentang Pendidikan dan Pengajaran. Di mana di
dalamnya tertulis tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia susila
yang cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Akan tetapi di waktu yang bersamaan
kita juga perlu menengok kondisi sosial politik yang memperngaruhi jalannya
pendidikan di Indonesia.
Kesepakatan KMB memberikan sedikit dampak yang
menguntungkan bagi tata kelola kenegaraan. Dengan kesepakatan itu,
pengebombardiran wilayah Indonesia secara fisik bisa sedikit teratasi. Namun
keuntungan itu tidak berdampak kepada kedaulatan tanah air ini untuk bisa lepas
dari cengkraman neo-kolonialisme. Bisa dibayangkan secara mendadak Indonesia
harus menerima bebehan hutang untuk pertamakalinya di tengah kondisi yang masih
sangat porak-poranda. Kemudian Negara diminta untuk mengembalikan seluruh aset-aset
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang tersebar diseluruh Indonesia, dan
salah satunya adalah tanah perkebunan milik Belanda Deli Planters Vereeniging. Ini tanda melalui kesepakatan itu, dan
perubahan peta pemerintahan menjadi Demokrasi yang parlementarian sesuai
pesanan politik barat, Indonesia dipaksa untuk bunuh diri.
Jatuh bangun kabinet menjadi fakta saat demokrasi
kepartaian menjadi klaim atas keterwakilan masyarakat dalam berpolitik juga
dalam bernegara. Pertarungan antar partai antar ideologi terlihat seperti
pertarungan anak-anak. Tanpa konstruksi yang jelas. Kekacauan politik dianggap
sebagai pesta demokrasi. Apakah ini berdampak kepada konstruksi pendidikan
nasional yang sedang dan akan dibangun ? untuk hal ini saya tidak akan menjawab
secara langsung. Tetapi mari kita lihat.
UUDS-1950 adalah acuan bernegara yang menggantikan
Konstitusi RIS setahun sebelumnya. Sistem politik di Indonesia diatur disana menjadi
Demokrasi Parlementer yang kemudian banyak orang menyebutnya dengan demokrasi
liberal. Apakah pengajaran juga di \atur disana? Pada pasal 30 ayat 2 dan 3
disebutkan bahwa memilih pelajaran yang akan diikutkan adalah bebas,
selanjutnya bahwa mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan
yang dilakukan terhadap itu menurut undang-undang. Di lain pihak juga ada
peraturan yang membebaskan pihak swasta membangun sekolah tanpa tujuan dan
materi yang jelas. Sekolah-sekolah gurem ini dinilai hanya mengedepankan
pencarian untung ketimbang memajukan masyarakat Indonesia.
Demokrasi liberal membawa semangatnya sendiri
terhadap pendidikan. Secara kualitatif mengaburkan pendapat tentang arah
masyarakat yang bebas dari lingkaran kapitalisme dan komunisme. Dampak langsung
yang tak terelak kan dari kebebasan ini adalah Indonesia menjadi ladang yang
subur bagi “perang dingin” untuk
berebut pengaruh di dunia pendidikan Indonesia. Sementara kelompok patriotik
dalam negeri disibuk kan dengan hasrat berkuasa, mau menang sendiri sehingga
kita hanya bisa menyaksikan jatuh bangunya kabinet dipanggung sejarah politik
Indonesia periode Demokrasi Liberal ini.
Dengan bantuan teknokrat PSI saluran beasiswa
Amerika Serikat dapat berkucuran dengan deras ke berbagai instansi. Di dunia
Perguruan Tinggi pada tahun 1957, Fakultas Ekonomi Indonesia mengadakan
kerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Berkeley California. Hubungan ini
menurut Harsja Bachtiar secara substansi berdampak kepada restrukturisasi
kurikulum dan metode pengajaran yang ada di universitas[4]
saa itu. Kebebasan dalam investasi (menanamkan pengaruh) di dunia pendidikan
juga dilakukan oleh pihak Angkatan Darat (AD) dengan cara terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi menggandeng Amerika Serikat sebagai mitra kerjanya. Sejak
tahun 1950 hingga awal tahun 1960an paling tidak sudah ada 2050 perwira yang dididik diberbagai program[5] di Amerika Serikat. Perlu dicatat bahwa program pendidikan yang difasilitasi oleh pihak Amerika ini tidak
hanya yang berhubungan dengan dunia kemiliteran, akan tetapi juga muncul kelas-kelas
tentang politik dan ekonomi.
Yang paling realistis dikerjakan oleh kementerian
pendidikan di periode Demokrasi Liberal dan memberikan dampak yang cukup
siknifikan adalah program PBH (Pemberantasan Buta Huruf). Di sekolahan,
universitas, perkantoran, di balai-balai desa, kecamatan hingga kantor-kanor
partai digunkan sebagai ruang kelas untuk program PBH tersebut. Hampir semua
orang baik pemangku kepentingan, partai politik dan ormas maupun individu berbondong-bondong meramaikan
kegiatan ini guna mendorong masyarakat Indonesia melek huruf.
Tahun Rediscovery
of Our Revolution
Pada tahun
1959 bertepatan dengan hari ulang tahun Republik Indonesia yang keempat belas,
Presiden Soekarno memberikan amanatnya yang kemudian dikenal sebagai Manifesto
Politik. Tahun ini dianggap penting karena dari empat belas tahun perjalanan
bangsa Indonesia Merdeka, sepuluh tahun belakangan masa itu dianggap pahit ;
Tahun 1959 adalah dalam mana kita, -- sesudah pengalam
pahit hampir sepuluh tahun – kembali kepada Undang Undang Dasar Revolusi
(1945). Tahu 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali pada jiwa Revolusi.
Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun “
Rediscovery of our Revolution”[6].
Dekrit Presiden pada tahun 1959 menjadi penanda
atas dibubarkanya sistem Demokrasi Liberal. Indonesia memasuki sebuah era
dimana Demokrasi tidak bisa lagi berjalan secara anarki seperti tahun-tahun
sebelumnya. Bongkar pasang kementerian juga dilakukan. Kementerian pendidikan
diisi oleh Dr. Prijono yang memiliki latar belakang politik Murba dan berhasil mendapatkan gelar
dokoralnya di Perancis pada bidang sastra. Di tahun 1954 bulan Desember ia
dianugerahi Penghargaan Perdamaian Stalin oleh Uni Soviet.
Tak lama setelah keluar surat pengangkatan kembali
dirinya sebagai Menteri Pendidikan, Prijono menginstruksikan retooling aparatur
dan usaha-usaha kementerian PP dan K sebelumnya. Segera dengan cepat membentuk
tim prenecanaan kerja kementerian untuk menangkap proyeksi besar Sukarno dalam
dunia pendidikan yang kemudian menghasilkan konsepsi tentang pendidikan bernama
Panca Wardhana. Konsepsi ini sebagai sebuah produk politik dan gagasan menjadi
penting dilihat tanpa meninggalkan konteks politik yang sedang berlangsung. Suasana
perang dingin yang menyelimuti dunia berlangsung dengan cepat. Dan dari awal
Indonesia mengambil posisi untuk tidak terlibat dalam satu kelompok identitas
tertentu.
Arah pendidikan nasional sejak saat itu berkiblat
kepada Manifesto Politik (Manipol). Di dalam Manipol disebutkan
bahwa pendidikan harus bertujuan melahirkan tenaga-tenaga ahli yang patriotik, demokratik dan
manipolis. Sistem pendidikan yang berwatak Manipolis harus menyiapkan manusia
baru, kader pembangunan yang ahli, patriotik, demokrat serta bercita-cita
sosialisme.[7]
Panca Wardhana sebagai sebuah gagasan yang—paling
tidak diakuinya sendiri dalam pidato kenegaraan 17 Agustus tahun 1964[8]—merupakan sumbangan
pemikiran Sukarno terhadap pendidikan, hal ini kemudian dimanifestasikan ke
dalam skema pendidikan nasional dalam bentuk kebijakan yang memang dibutuhkan
sebagai sebuah saluran untuk memberikan pengetahuan kepada seluruh masyarakat
Indonesia, tentang Pokok-Pokok Revolusi Indonesia serta Program Umum Revolusi
Indonesia.
Melalui pendidikan, masyarakat Indonesia
diharapkan bisa bersatu dalam fikiran maupun tindakan untuk menyelesaikan
tahapan revolusi Indonesia[9] dan hampir seluruh instansi
pemerintahan juga angkatan bersenjata diharuskan mempelajari pokok pokok dari
revolusi ini.
Konsepsi
Pendidikan Panca Wardhana
Panca Wardhana sebagai sebuah ikhtiar untuk
membangun Pendidikan Nasional Indonesia. Panca Wardhana adalah dokumen politik Pendidikan
Nasional Indonesia yang pernah ada. Konsep
ini juga pernah tercatat dalam UNESCO dan melalui Kepala Misi UNESCO untuk Indonesia diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris menjadi “The Five
Principles of Education” yang berisi:
- Perkembangan Cinta Bangsa dan Tanah Air, Moral, Nasional/
Internasional/ Keagamaan
- Perkembangan Intelegensia
- Perkembangan Emosional, Artistik atau Rasa Keharuan dan Keindahan
Lahir Batin
- Perkembangan Kerajinan Tangan
- Perkembangan Jasmani[10].
Sistem ini dibangun tidak hanya untuk mencapai
cita-cita nasional yang sifatnya tetap seperti yang ada di UUD 1945. Lebih dari
itu, Sistem Panca Wardhana juga disesuaikan dengan taraf revolusi Indonesia
yang membutuhkan pemuda-pemuda/kader-kader pembangunan yang mumpuni di segala
bidang. Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran guna mencapai tujuan yang diinginkan segera dibentuk.
Pasal demi pasal di atas lebih terlihat konsepsi
pendidikan yang patriotik, sangat kental nuansa nasionalismenya begitu juga
dengan kemanusian di dalamnya. Pengetahuan serta emosional pribadi manusia
Indonesia terintegrasi rasa keindahan dan keharuan yang tinggi baik lahir
maupun batin. Kondisi ini menjadi harapan ketika pengetahuan dan tindakan
berjalan beriringan menyelesaikan tugasnya hingga mencapai Indonesia yang adil
dan makmur.
Pada tahun 1965, keluar Penetapan Presiden No. 145
Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan Induk
Sistem Pendidikan Nasional. Dari Penpres tersebut ditetapkan bahwa nama
sistem pendidikan nasional Indonesia adalah Sistem Pendidikan Pancasila yang
berdasarkan pula atas amanat Presiden bahwa dasar-dasar dan isi moral
pendidikan nasional adalah Pancasila dan Manipol/USDEK. Kemudian dilanjutkan
dengan keluarnya Penpres No. 19 Tahun 1965 yang menyebutkan tentang semua
kegiatan itu diatur dalam sebuah kurikulum agar mampu mencapai masyarakat adil
dan makmur[11].
Ada pun penjelasan mengenai pandangan negara
(kekuasaan) melihat dan memahami sebuah krangka bangunan pendidikan mulai dari
kurikulum hingga evaluasi pembelajarn sebagai beikut :
Kurikulum
Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi
objektif masyarakat Indonesia yang pada saat itu sedang terus bergerak ke arah
yang lebih revolusioner, dengan isi jiwa
yang dimiliki berdasarkan semangat kepercayaan dan rasa taqwa kepada
Tuhan YME, secara berkeadaban sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
Semangat perikemanusiaan dalam bentuk persahabatan dengan seluruh bangsa-bangsa
di dunia atas semangat membangun dunia baru yang terbebas dari imperialisme dan
kolonialisme, kemudian semangat musyawarah untuk mufakat dan gotong royong. Penjelasan
jiwa/isi dari kurikulum tersebut sangat mewakili apa-apa saja yang menjadi
bab-bab inti dari Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Namun demikian,
setelah Oktober 1965 konsepsi ini (Panca Wardhana) malah dianggap/dituduh
sebagai sesuatu yang menghianati Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Yang na’as adalah ketika salah satu mantan wakil
presiden Indonesia menyatakan dengan nada pesimis tentang pendidikan Indonesia
dengan kurikulumnya belum mampu menemukan hal yang menggembirakan[12]. Justru pada saat
pendidikan Indonesia belum mampu membaca kebutuhan masyarakatnya, pemerintah
malah menjadikan ukuran pendidikan Barat sebagai sebuah patokan kebijakan
pendidikan seperti konsep standarisasi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk
Ujian Nasional. Mengglobalnya jaringan politik ekonomi yang sampai-sampai
menghilangkan batas-batas negara sebagai otonomi dunia justru dihadapi oleh Indonesia
dengan semakin mempertajam persaingan individu. Negara beserta aparatusnya
justru melepas begitu saja masyarakat Indonesia yang dalam beberapa penelitian
dinilai belum siap mengahadapi persaingan ini. Hal ini kemudian menjadi kontras
dengan bagaimana Sukarno memandang pendidikan (kurikulum) dan pemerintah hari
ini dengan situasi yang tidak jauh berbeda.
Bahan ajar
Mata pelajaran yang dirancang kemudian disebut Rentjana Pelajaran dan Pendidikan TK-SD/SMP,
SMA Gaja Baru ini berisikan bukan semata-mata rentetan bab-bab dari berbagai jenis mata
pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik, akan tetapi segi-segi
kependidikan yang tersimpul dalam tiap mata pelajaran mendapat sorotan yang
tajam di dalamnya.
Mata pelajaran-mata pelajaran seperti Sejarah
Nasional, Musik, Kesusastraan serta Ilmu Bumi juga dipakai untuk tujuan
menempatkan Panca Wardhana sebagai sebuah sistem. Ada pun penjelasan mengenai
mata pelajaran sejarah adalah agar siswa diharapkan mampu untuk kemudian lebih
mengenal dan percaya diri tentang siapa sebenarnya jati dirinya melalui
pengenalan jati diri bangsanya, bangsa Indonesia yang selama ratusan tahun
berjuang mengusir kolonialisme. Musik dan Kesusastraan dipakai untuk menopong
perkembangan emosional dan artistik dalam berkehidupan. Sedangkan untuk
membentuk intelegensia yang maju, dipakai cara-cara yang klasik seperti
menulis, membaca serta berhitung untuk mengasah ruh intelektualnya.
Sekalipun Panca Wardhana tidak bisa diterjemahkan
begitu saja ke dalam bahasa sekolah di beberapa pembagian mata pelajaran, namun ada
sebuah upaya dari segenap masyarakat—tidak hanya Kementerian Pendidikan—untuk
menyempurnakannya menjadi sebuah Rencana Pendidikan dilakukan. Pada tahun 1962[13], Kementerian Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan menyelenggarakan Rapat Kerja Direktur-Direktur Taman
Kanak-Kanak, SMP dan SMA Negeri Maupun Swasta seluruh Indonesia di Bandung.
Pertemuan itu menghasilkan sebuah buku rumusan
induk tentang pembelajaran, mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah
Menengah Atas yang disempurnakan lagi pada tahun 1964 menjadi Rencana
Pembelajaran Gaya Baru. Di dalam Rencana Pembelajaran hasil pertemuan itu, maka
untuk Sekolah Menegah Pertama dan Atas mulai dihapuskan sistem kelas yang
membagi mereka menjadi kelas A dan B di sekolah, hal ini memungkinkan para
siswa untuk menerima mata pelajaran yang sama dan secara tidak langsung membuat
psikologis para siswa membaik karena mereka merasa sederajat sebagai sesama
manusia tanpa pandang dari latarbelakang apa keluarganya.
Selain itu juga ada penambahan mata pelajaran baru
yaitu Ilmu Administrasi dan Kesajahteraan Keluarga, dengan maksud semata-mata
untuk memberikan bekal keterampilan kepada para siswa untuk dapat terjun
kemasyarakat[14]. Di tingkatan Taman
Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar Rencana Pendidikan Gaya Baru ini pendidikan
menekankan kepada nilai-nilai dalam masyarakat dan masyarakatlah yang
menentukan isi bahan pelajaran serta kearah mana anak didik harus berkembang
dengan catatan tidak bertentangan dengan filsafat dan dasar negara.
Bahan ajar yang disampaikan kepada siswa hanya
berguna sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan terselengarakanya masyarakat
adil makmur dan bukan menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Kementerian
Pendidikan mengarahkan perkembangan anak menjadi manusia Pancasila yang antara
lain bertanggung jawab atas terselenggarakan nya masyarakat adil dan makmur[15].
Rencana Pembelajaran ini berisikan bukan hanya
kumpulan bab-bab dari berbagai mata pelajaran yang harus diajarkan akan tetapi
segi-segi kependidikan yang tersimpul dalam tiap mata pelajaran mendapat
sorotan yang tajam pula di dalamanya. Tujuan besar dari rencana pembelajaran gaya
baru seperti yang tertulis dalam hasil rapat para direktur SMA Negeri dan
Swasta seluruh Indonesia adalah mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing
kemampuan dan kesanggupan sebagai anggota masyarakat selain itu mendidik
tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan yang sesuai dengan bakat dan minat
masing masing serta keperluan masyrakat, sehingga tamatannya mempunyai dasar
dasar ilmu dan kecakapan seperlunya untuk mengembangkan dirinya terutama pada
lembaga-lembaga pendidikan yang lebih tinggi dari pada SMA tetapi juga pada
lembaga lembaga masyarakat lainya yang memerlukan SMA sebagai dasarnya[16].
Prinsip-Prinsip
Umum Evaluasi Pendidikan
Secara umum evaluasi pembelajaran adalah tahap
akhir yang digunakan oleh sekolah/pendidikan untuk mengukur seberapa jauh atau
seberapa dekatkah hasil pembelajaran dengan tujuan Pendidikan Nasional.
Evaluasi pembelajaran digunakan untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan atau
kekurangan-kekurangan yang dimilikinya siswa bisa tahu gambaran perolehan akan
dirinya sendiri. Selanjutnya bahwa prinsip evaluasi ini berpegang kepada
semangat ;
a. Evaluasi merupakan alat bimbingan dan bukan untuk menghukum anak
b. Evaluasi harus dilakukan dalam frekuensi yang dekat untuk menutup
kemungkinan keterlanjuran dari usaha salah mendidik.
c. Evaluasi harus meliputi segenap segi keperibadian anak sesuai dengan
tujuan pendidikan. dan tidak hanya menunjukkan pada beberapa aspek saja
melainkan kesemuanya.
d. Evaluasi harus ditujukan untuk mengenal lebih jauh siapa anak didik
dalam rangka tujuan pendidikan nasional.
e. Evaluasi bukan hanya ditujukan untuk menentukan proses berhak atau
tidaknya siswa naik kelas, melainkan mendorong anak untuk lebih maju lagi mulai
dari dalam fikiran sampai tindakan.
f. Evaluasi harus dilakukan dengan cara yang
seobjektif mungkin dan kontinyu.
g. Evaluasi harus diselenggarakan secara desentralisasi.
h. Evaluasi harus bersifat test-skolastik.
i. Evaluasi harus bersifat multidimensional.
j. Dalam penentuan yang akhir ini perlu diperhatikan
pula kemajuan-kemajuan anak di sekolah dan penilaian guru berdasarkan observasi
langsung dan kontinu
[1]
Tan Malaka. SI Semarang & Onderwijs
[2]
Suhardi HP dkk. Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan. 1986 Dept Pen dan
Kebudayaan
[3]
Prof. soegarda 84
[4]
Harsja W Bachtiar, Indonesia, hal. 27
dalam Sosial Sciences in Asia Vol. II
no.33 UNESCO
Press, Paris, 1976.
[5]
Rudolf Mrazek, The United States and The Indonesia Military,
1945-1966, Vol I, Oriental
Institue in Academi, Prague, 1978, hal.
124 dalam Nasir Tamara, Mengkaji
Indonesia, Bentang,
Yogyakarta, 1999.
[6]
Pidato Sukarno tanggal 17 Agustus 1959; Penemuan
Kembali Revolusi Kita. dalam buku Departemen Penerangan RI. Haluan Politik dan Pembangunan Negara.
Hal; 40
[7]
Pendidikan Mengabdi Manipol”. Prasaran
disampaikan dalam Kongres I Lembaga Pendidikan pada bulan Juli 1962, hal; 10.
Dikutip dalam makalah Dr. Umasih, M.hum.
Penyusupan Komunisme Dalam Pelaksanaan
Pendidikan Panca Wardana. Jakarta 2011
[8]
Sukarno, Tahun Vivere Pericoloso (Tahun yang Penuh Bahaya) Tahun 1964
[9] Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 19
Tahun 1965, tentang Pokok Pokok
Sistem
Pendidikan Nasional Pancasila
1970), hal. 420.
[11]
Drs. Estiko Suparjono, Sistem Pendidikan Nasional Pancasila,
(Djakarta: Bhratara, 1966),
hal. 76.
[12] Boediono,
Pendidikan Kunci Pembangunan,
dalam Surat Kabar Kompas , 27 Agustus 2012.
[13]
Suradi Hp dkk, Sejarah Pemikiran
Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Departemen P dan K, 1986), hal. 127.
[14]
Ibid,
hal. 128.
[15]
Dept. PD dan K, Rentjana Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, (Djakarta:
Dept. PD dan K, 1964), hal. 8.
[16]
Dept. PD dan K, Rentjana Peladjaran dan Pendidikan SMA Gaja Baru (Djakarta: Dept.
PD dan K, 1964), hal. 3.
barakallah ilmunya terimakasih
BalasHapussama sama. terimakasih sudah berkunjung
Hapusmohon maaf boleh bertanya, apakah boleh tahu nama penulisnya siapa ? supaya bisa dijadikan referensi
BalasHapus